Sembilan tahun berlalu, pembangunan ekonomi di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo dilakukan dengan mengorbankan hak asasi manusia (HAM) dan derita hidup rakyat kecil, demikian pernyataan Amnesty International Indonesia.
“Masyarakat adat dan komunitas lokal digusur demi pemenuhan kepentingan investasi. Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam urusan publik sengaja dibungkam demi kebijakan percepatan investasi,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.
Usman Hamid mengingatkan Presiden Jokowi bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk memenuhi hak-hak rakyat. Mulai dari hak ekonomi, sosial, dan budaya agar tercapai keadilan sosial, hingga hak-hak sipil dan politik agar terjamin kemerdekaan rakyat untuk berpikir, berekspresi, dan menyatakan pendapat. Ia mendesak agar pemerintah benar-benar memperhatikan aspirasi dan kepentingan rakyat kecil melalui pelibatan aktif dalam pembangunan ekonomi yang berkeadilan.
“Bukan malah menutup paksa suara masyarakat yang menuntut hak-hak mereka,” ujar Usman Hamid sambil menyajikan dua peristiwa yang tak berperikemanusiaan terhadap masyarakat.
Pertama, dalam rentang waktu 31 Juli hingga 5 Agustus 2023, sekitar 1.000 warga Nagari Air Bangis dan mahasiswa menggelar unjuk rasa di Kantor Gubernur Sumatra Barat. Mereka menolak rencana PSN kilang minyak dan petrokimia dengan luas konsesi 30.000 hektar karena menyerobot lahan yang dikelola warga. Namun aksi protes itu ditanggapi secara represif dengan pengerahan kekuatan oleh aparat keamanan yang memulangkan secara paksa para pemrotes, disertai penangkapan atas 18 orang warga, mahasiswa, dan aktivis serta intimidasi dan kekerasan atas sedikitnya empat jurnalis peliput aksi.
Kedua, pada 7 September 2023, aparat Polda Kepulauan Riau telah melakukan kekerasan dan intimidasi terhadap masyarakat Pulau Rempang-Galang, Batam, hanya karena mereka menolak proyek strategis nasional “Rempang Eco City” yang berdampak pada pengusiran permukiman mereka. Kekerasan aparat itu mengakibatkan pada tertangkapnya enam orang warga dan puluhan warga lainnya luka – luka. Bahkan, ratusan murid sekolah harus menyelamatkan diri dari tembakan gas air mata aparat di sekolah.
Kasus Nagari Air Bangis dan Rempang adalah dua contoh praktik kekerasan negara terhadap rakyatnya sendiri. Pada level pembuatan kebijakan, pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020 tidak mengindahkan proses konsultasi yang terjamin dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Di tengah kritik masyarakat sipil, pembahasan dan pengesahan instrumen hukum ini pun dilakukan dan bahkan terlaksana hanya kurang dari setahun sejak Presiden Jokowi mencetuskan ‘Omnibus Law Cipta Kerja’ dalam pidato pelantikannya sebagai presiden RI periode kedua, pada 20 Oktober 2019. Omnibus Law yang memungkinkan percepatan investasi untuk pembangunan itu tidak melibatkan partisipasi bermakna dari masyarakat (meaningful participation).
Protes warga di Rempang dan Nagari Air Bangis bukan satu-satunya kemarahan publik terhadap pembangunan yang melanggar HAM. Alih-alih berterima kasih atas aspirasi dan kritik masyarakat sipil, negara justru menyikapi kritik dengan serangan fisik, digital dan pengerahan aparat keamanan yang menggunakan kekuatan secara eksesif kepada warganya sendiri.
Amnesty International Indonesia menyajikan data bahwa selama Januari 2019 – Mei 2023, ada setidaknya 44 serangan fisik dan digital dengan setidaknya 202 korban pembela HAM lingkungan dan masyarakat adat.
“Kami mengingatkan pemerintahan Presiden Jokowi agar tidak mengabaikan perlindungan HAM demi pembangunan ekonomi. Kesejahteraan rakyat haruslah diwujudkan seiring dengan pemenuhan hak-hak dasar, kebebasan sipil, dan keadilan,” lanjut Usman.
“Rapor merah ini harus diperbaiki segera”
Merosotnya kebebasan sipil
Sejak tahun 2014, Pemerintahan Presiden Jokowi ternyata tidak mampu menjamin kebebasan sipil yang semakin tergerus. Serangan, ancaman dan kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan hak untuk berkumpul dan berserikat masih menjadi kenyataan yang meresahkan selama beberapa tahun ke belakang.
Semasa pemerintahan Jokowi periode pertama, Amnesty International Indonesia mendokumentasikan setidaknya 203 kasus pidana terhadap mereka yang mengkritik pejabat publik, pasangan mereka sendiri, atau lembaga pemerintah -melalui media elektronik, media sosial, atau sepanjang aksi unjuk rasa -yang muncul dari bulan Oktober 2014 hingga Maret 2019.
Tragisnya, tergerusnya kebebasan sipil juga terus berlangsung pada periode kedua pemerintahan Jokowi. Selama 2019 hingga 2022, Amnesty International Indonesia mencatat terdapat setidaknya 328 kasus serangan fisik dan/atau digital terhadap masyarakat, dengan setidaknya 834 korban. Korban-korban ini mencakup pembela HAM, aktivis, jurnalis, pembela lingkungan, mahasiswa, dan demonstran. Terduga pelaku dari serangan dan intimidasi ini adalah aktor negara dan non-negara.
Beberapa undang-undang baru dan peraturan yang diimplementasikan semasa pemerintahan Jokowi juga telah mengancam hak-hak sipil dasar dan menjadi alat untuk membatasi kritik terhadap pemerintahan. Aturan penodaan agama dalam pasal 156 dan 156 (a) KUHP dan pasal 28 (2) dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), digunakan untuk memenjarakan orang-orang yang mengekspresikan haknya dalam beragama dan berkeyakinan secara damai.
Selama 2019 hingga 2022, misalnya, Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya 332 orang korban yang dijerat dengan dugaan melanggar Pasal 27(1) dan (3) serta Pasal 28(2) UU ITE. Jumlah ini pun terus bertambah berdasarkan pantauan Amnesty International Indonesia hingga September 2023.
“Kami menyerukan kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo dan para politisi pendukungnya sebagai pihak mayoritas di parlemen untuk segera mengambil tindakan nyata dalam melindungi kebebasan sipil di Indonesia. Mereka harus segera merevisi dan bahkan mencabut pasal-pasal bermasalah di UU ITE,” kata Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena.
Penyelesaian kasus HAM berat masih mangkrak
Walau tidak ada perubahan berarti pada periode pertama kepemimpinan Jokowi, agenda penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat sempat kembali mengemuka ketika Jokowi menyatakan pengakuan dan penyesalan atas terjadinya 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu pada 11 Januari 2023.
Namun yang terdengar sampai saat ini hanyalah penyelesaian non yudisial yang masih jauh dari kata tuntas bagi korban dan keluarga pelanggaran HAM berat.
Juga tidak terlihat tanda-tanda dimulainya penyelesaian yudisial. Sampai saat ini belum ada tindakan konkret dari Jaksa Agung untuk memajukan kasus-kasus ini ke tahap penyidikan dan penuntutan, sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
“Ke mana perginya amanat konstitusi tentang negara hukum untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu? Budaya impunitas masih dipelihara dan korban pelanggaran HAM beserta keluarganya masih terus menantikan penyelesaian kasus secara berkeadilan,” lanjut Usman Hamid.
Ketidakjelasan dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat adalah bentuk dari pengingkaran atas keadilan. Lambatnya proses penegakan hukum mengandung pesan bahwa keadilan begitu sulit terpenuhi. Keluarga korban terus menantikan keadilan yang telah terlalu lama tertunda. “Justice delayed is justice denied, keadilan yang tertunda adalah keadilan yang ditolak.”
“Kami mendesak Presiden Jokowi untuk perintahkan Jaksa Agung untuk segera mengambil tindakan konkret dalam mengusut dan menuntut kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Independensi, keadilan, dan akuntabilitas publik harus diutamakan untuk memastikan bahwa pelanggar HAM tidak lepas dari tanggung jawab mereka,” kata Usman.
Kekerasan di Tanah Papua terus merenggut nyawa
Sembilan tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo masih belum mampu mengatasi konflik dan pelanggaran HAM di Tanah Papua, meskipun telah mengunjungi wilayah tersebut berkali-kali dan meningkatkan pembangunan infrastruktur di sana.
Kekerasan yang melibatkan aparat keamanan negara dan kelompok pro-kemerdekaan Papua masih terus berlangsung dan memakan korban warga sipil. Dari 2018 hingga 2022, Amnesty International Indonesia mencatat setidaknya 94 kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat TNI, Polri, petugas lembaga pemasyarakatan, dan kelompok pro-kemerdekaan Papua yang menewaskan setidaknya 179 warga sipil.
Dalam periode waktu yang sama, jumlah korban yang meninggal dari pihak TNI sebanyak 35 jiwa dari 24 kasus pembunuhan di luar hukum, 9 anggota Polri dari 8 kasus, dan 23 anggota kelompok pro-kemerdekaan Papua dari 17 kasus.
Kekerasan berdarah di Tanah Papua masih terus berlangsung hingga tahun 2023. Salah satu kejadian terkini adalah kekerasan terhadap para penambang di Distrik Seradala, Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan pada 16 Oktober 2023, menyebabkan tujuh korban tewas dan tujuh lainnya terluka.
Sebelumnya, pada 17 September 2023 terjadi penyergapan dengan kekerasan di kantor Klasis Gereja Kemah Injil (KINGMI) di Keneyam, Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan. Ketua klasis dianiaya dan tiga orang ditangkap karena diduga pendukung kelompok pro-kemerdekaan.
Dua hari sebelumnya, pada tanggal 15 September 2023, lima warga sipil ditemukan tewas di muara Sungai Brasa, Dekai, Kabupaten Yahukimo. Polisi menemukan jenazah mereka setelah kontak senjata dengan kelompok pro-kemerdekaan.
“Kami mendesak pemerintah untuk mengambil pendekatan yang lebih komprehensif dalam menangani konflik dan pelanggaran HAM di Tanah Papua. Ini mencakup dialog yang inklusif dengan seluruh spektrum masyarakat Papua, penegakan hukum yang adil terhadap pelaku pelanggaran HAM, serta usaha konkret dalam memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi di Tanah Papua,” ujar Usman. (*)