Papua  

PPT untuk Papua di London: Kekerasan Negara Hingga Perampasan Tanah Adat

sumber: Queen Mary University of London (qmul.ac.uk)

Pengadilan menyatakan, Indonesia telah mengambil secara paksa tanah masyarakat adat Papua melalui diskriminasi rasial, yang mengakibatkan hilangnya budaya dan penindasan dengan kekerasan, termasuk penahanan tidak sah, pembunuhan di luar proses hukum, pengungsian, dan degradasi lingkungan.

Delapan orang hakim tribunal memimpin persidangan ini. Panel ahli terdiri dari Teresa Almeida Cravo (Portugal), Donna Andrews (Afrika Selatan), Daniel Feierstein (Argentina), Marina Forti (Italia), Larry Lohmann (Inggris), Nello Rossi (Italia), dan Solomon Yeo (Kepulauan Solomon).

Sidang tersebut diselenggarakan oleh sebuah lembaga internasional independen yang didedikasikan untuk menangani isu-isu kritis hak asasi manusia dan keadilan lingkungan. Sejak didirikan pada tahun 1979, pengadilan ini telah berperan penting dalam menyelidiki dan mengungkap kasus-kasus pelanggaran negara dan perusahaan, serta memberikan suara bagi masyarakat terpinggirkan di seluruh dunia.

Mengapa di Queen Mary University?

David Whyte, Direktur Pusat Kejahatan Iklim dan Keadilan Iklim di Queen Mary University of London menjelaskan mengapa mereka ngorganisir dan menjadi tuan rumah Pengadilan Permanen Rakyat untuk Papua Barat.

“Jawabannya, secara paradoks, terletak pada pentingnya Papua Barat bagi London dan dunia,” kata David Whyte dilansir laman resmi Queen Mary University of London, qmul.ac.uk.

Unilever yang berbasis di London adalah salah satu pembeli minyak sawit terbesar di dunia dan sebagian besar dipasok dari Indonesia, eksportir terbesar di dunia (Papua Barat sedang mengalami ekspansi minyak sawit yang pesat).

Sebagian besar cadangan emas, tembaga, dan logam lainnya yang sangat besar di kawasan ini – tambang Freeport di Tembagapura memiliki cadangan emas terbesar di dunia dan cadangan tembaga terbesar kedua – diperdagangkan di London.

“Inilah salah satu alasan mengapa Pusat Kejahatan Iklim dan Keadilan Iklim yang berbasis di London menjadi tuan rumah Pengadilan Tetap Masyarakat mengenai Kekerasan Negara dan Lingkungan di Papua Barat,” kata W.hyte

Alasan kedua, menurut Whyte, mengungkap para pelaku politik dan ekonomi yang melalui tindakan mereka memperburuk krisis iklim. Papua Barat adalah rumah bagi hutan hujan terbesar ketiga di dunia, dan karena percepatan pembangunan industri, hutan ini, seperti halnya Amazon, terancam.

“Tidak perlu dijelaskan mengapa perlindungan hutan hujan yang sangat penting ini diperlukan untuk masa depan kita semua. Namun, kita perlu menjelaskan dinamika politik dan ekonomi yang mengakibatkan kerusakan hutan,” katanya.