Papuadaily – Queen Mary University of London di Inggris Raya menjadi tuan rumah Pengadilan Permanen Rakyat atau Permanent Peoples’ Tribunal (PPT) atas kekerasan dan perusakan lingkungan di Papua.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, pernyataan akhir PPT benar-benar mencerminkan perkembangan yang memburuk di Papua.
“Temuan bersejarah mereka menandakan besarnya pelanggaran hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan di wilayah tersebut,” kata Usman dalam keterangan, Minggu (30/6/2024).
Menurut Usman, pengadilan ini merupakan awal yang baik untuk membuka jalan menuju keadilan di Papua. Ia berharap ini menjadi kesempatan bagi komunitas internasional untuk bersolidaritas dengan masyarakat Papua, mengakui penderitaan mereka dan mendukung perjuangan mereka untuk hak asasi manusia.
“Pihak berwenang Indonesia terus menerus gagal mengakhiri konflik yang terus memakan korban jiwa di Papua. Penting bagi pihak berwenang untuk mengevaluasi operasi militer dan aktivitas bisnis yang dilakukan oleh pelaku korporasi untuk memastikan pemulihan dan perlindungan hak asasi manusia di Papua,” katanya.
Usman menegaskan, jalan keadilan yang sulit bagi orang Papua ini harus diakhiri. “Sudah saatnya masyarakat internasional menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk mengakhiri kekerasan yang telah berlangsung lama ini,” imbuhnya.
Pemerintah Indonesia melalui Kantor Staf Presiden (KSP) mengatakan itu bukanlah dakwaan hukum, melainkan opini yang belum tentu menggambarkan situasi sebenarnya di Papua.
Sementara Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di London mengatakan, acara itu digelar mendekati 1 Juli 2024, peringatan hari bersejarah bagi orang Papua ketika pertama kali Seth Jafeth Roemkorem mendeklarasikan kemerdekaan Papua pada 1 Juli 1971.
Dengan demikian, KBRI di London menuduh PPT dilakukan untuk “membangun persepsi publik” mengenai situasi politik Papua.
Tentang PPT
Permanent Peoples’ Tribunal (PPT) atau Pengadilan Rakyat Permanen tentang Kekerasan Negara dan Lingkungan di Papua Barat berlangsung dari 27 Juni hingga 29 Juni 2024 di Universitas Queen Mary London, Inggris Raya.
Sebuah panel ahli pengadilan mendengarkan bukti dari sejumlah LSM internasional dan organisasi masyarakat sipil lokal serta kesaksian dari individu-individu yang telah menyaksikan pelanggaran hak asasi manusia dan perusakan lingkungan.