Sedangkan di bagian barat Mimika yang diusulkan menjadi kabupaten baru beribukota di Kapiraya, juga punya potensi sumber daya alam. Wilayah ini potensial untuk pengembangan kawasan industri dengan potensi sumber air baku, topografi dan kemiringan lahan relatif datar.
Pada 2016 lalu perusahaan asal China, PT Megantara Universal, mengeksplorasi pasir besi di Pronggo, Distrik Mimika Barat Tengah. Perusahaan itu akhirnya dihentikan secara paksa karena ditemukan secara ilegal menambang mineral lain seperti emas.
Kedua bakal kabupaten baru, Mimika Barat dan Mimika Timur, memang sama-sama punya potensi dari kawasan hutan, laut, mineral logam dan migas. Hanya saja, wilayah ini tentu masuk dalam kawasan hutan lindung sehingga harus diturunkan menjadi areal penggunaan lain (APL).
MRP soal Pemekaran
Majelis Rakyat Papua (MRP) punya pandangan lain. Pemekaran provinsi baru di Papua dinilai sangat tidak partisipatif. Pembentukan DOB, menurut MRP, tidak ada relevansinya dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua, apalagi rencana ini diformulasi dengan tergesa-gesa.
Ketua MRP Timotius Murib mengatakan, pembentukan 3 DOB yang lalu, Papua Tengah, Papua Pegunungan dan Papua Selatan, juga sama sekali tidak mempertimbangkan faktor kesatuan sosial budaya.
Di samping itu, lanjut dia, pertimbangan faktor kesiapan sumber daya manusia dalam pemekaran ini diabaikan. Menurutnya, ini juga sangat penting karena saat ini masih banyak kantor di pemerintahan provinsi Papua yang kekurangan sumber daya manusia.
“Bahkan kantor yang ada pun belum signifikan terisi terutama oleh orang asli Papua. Belum lagi jika mempertimbangkan situasi keamanan,” kata Timotius Murib dalam pandangan MRP pada pembahasan RUU DOB Provinsi Papua, Juni 2022 lalu.
Menurut Murib, pembentukan DOB di Papua menunjukkan adanya proses formil yang cacat, yang setidaknya tercermin dari tidak adanya konsultasi dan partisipasi yang bermakna rakyat Papua.
“Substansi Undang-Undang hasil perubahan kedua juga ternyata mengandung substansi yang merugikan hak-hak orang asli Papua. Hal ini tercermin dalam sejumlah pasal yang berubah, bertambah, dan ada pasal penting yang justru berkurang, yang keseluruhannya berjumlah sebanyak 19 pasal,” kata dia.
Bahkan setelah dikaji oleh MRP, lanjut Murib, setidaknya ada 9 pasal yang secara substansial merugikan hak-hak orang asli Papua. Karena itulah, MRP bersama MRP Papua Barat mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi sebagai pilihan upaya hukum yang bermartabat.
“Hingga saat ini belum ada kajian yang memberikan proyeksi perkembangan Papua di masa depan. Tanpa ada kajian, termasuk terkait dengan kebijakan DOB, maka MRP khawatir bahwa situasi Papua justru bertambah semakin kurang kondusif,” katanya.
Akademisi Universitas Negeri Papua (UNIPA) Dr. Agus Sumule, menyebut wilayah-wilayah yang akan dimekarkan itu masih memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang rendah. Untuk itu. ia sarankan sebaiknya pemekaran ditunda.
“Dan pemerintah fokus pada perbaikan tata kelola pemerintahan daerah dan meningkatkan akses OAP pada pendidikan yang bermutu,” imbuhnya.