TIMIKA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang melelang blok Warim, salah satu blok minyak dan gas bumi (migas) potensial yang disebut-sebut sebagai “harta karun raksasa” di Bumi Cenderawasih, Papua.
Blok Warim atau Warim Basin berbatasan dengan Papua Nugini. Blok ini telah dibagi oleh Kementerian ESDM menjadi dua wilayah kerja yaitu Akimeugah I dan Akimeugah II, masing-masing memiliki luas 10,791 dan 12,987 kilometer persegi.
“Akimeugah 1 dan 2 sudah kita lelang. Warim itu kita ganti nama dengan Akimeugah I dan II,” kata Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji, di Jakarta, Jumat (3/11/2023).
Rencana pemerintah menggarap potensi migas ini disambut penolakan oleh masyarakat adat di Agimuga, Kabupaten Mimika. Ada pun cekungan migas di blok ini mencakup wilayah Agimuga yang termasuk dalam kawasan Taman Nasional Lorentz.
Masalah Taman Lorentz
Blok Warim tepat di wilayah perbatasan PNG sebenarnya telah dieksplorasi sejak lama. Wilayah itu mencakup dua sumur migas, Kau I dan Kau II. Tetapi, proyek ini terkendala karena bersinggungan dengan kawasan Taman Lorentz.
Prof. Benyamin Sapiie, Guru Besar ITB mengatakan area Lorentz dalam konsesi internasional hampir tidak mungkin ditembus sekali pun oleh pemerintah Indonesia. Tetapi, di bagian Barat ada kawasan Akimeugah yang terbuka.
“Sedangkan di wilayah Timur besinggungan dengan Taman Lorentz,” kata Prof Benyamin dalam Pemaparan Teknis Potensi Migas di Wilayah Kerja Akimeugah I dan Akimeugah II, pada September 2023 lalu.
Dirjen Migas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengatakan pemerintah telah menyelesaikan masalah Blok Warim yang bersinggungan dengan Taman Lorentz tersebut. Wilayah yang bersinggungan dengan Taman Lorentz akan diciutkan atau dipotong 10 persen.
“Supaya tidak menjadi permasalahan dengan lingkungan (KLHK), termasuk UNESCO juga,” kata Tutuka, dilansir CNBC Indonesia, 3 November 2023.
Dengan begitu, Tutuka bilang, potensi migas yang akan didapatkan tidak berkurang signifikan setelah mengurangi luas wilayah eksplorasi. Dia sebut potensi migas di kawasan itu memang cukup besar.
“Jadi di Warim itu di Akimeugah itu ada yang gas, ada yang minyak. Besar, bukan ukuran kecil,” ujarnya.
Harta Karun Raksasa
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, membeberkan bahwa pemerintah Indonesia menemukan potensi ‘harta karun’ berupa minyak bumi bisa mencapai 27 miliar barel di Papua.
“Kita temukan lagi dapat potensi 27 miliar barel oil. Ini kita sedang tunggu, di laut apa hanya di darat, pasti saja di laut,” kata Luhut dalam acara Marine Spatial Planning & Services Expo 2023, pada September 2023 lalu.
Potensi cadangan raksasa dimaksud adalah Blok Warim, Papua. Cadangan migas ini satu cekungan yang terbentang hingga ke PNG. Di PNG terdapat 14 lapangan migas yang sedang eksplorasi. Sementara di wilayah Papua baru terdapat dua sumur di dekat perbatasan PNG namun terkendala Taman Lorentz.
Dilansir laman resmi Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji menyebut potensi Blok Warim bahkan bisa melebihi Blok Masela, salah satu ladang migas terbesar milik Indonesia yang berlokasi di Maluku Tenggara.
“Cekungan yang besar itu di Papua yang berbatasan dengan Papua Nugini, Ada WK (wilayah kerja) yang cukup besar, namanya Warim. Itu yang kita fokuskan ya. Warim itu ada minyak dan ada gas. Itu gede sekali,” bebernya.
“Ukurannya giant-lah. Potensi sumber dayanya lebih gede dari Masela,” lanjut dia.
Penolakan Masyarakat Adat
Masyarakat adat yang mendiami wilayah Agimuga, Mimika, menolak keras pemerintah menggarap potensi migas di wilayah adat mereka. Masyarakat menyebut pengerukan sumber daya alam Papua pada akhirnya tidak akan memberikan dampak baik yang signifikan bagi mereka.
Dalam aksi demo penolakan tambang Migas Agimuga di DPRD Mimika, 30 Oktober 2023, masyarakat mengaku trauma dengan masuknya perusahaan tambang di Papua yang justru ikut menghadirkan persoalan baru bagi rakyat Papua.
Sebut saja salah satunya adalah tambang emas dan tembaga PT. Freeport Indonesia di Mimika. Menurut masyarakat, perusahaan raksasa ini saja telah mengeruk perut bumi Papua selama puluhan tahun tetapi manfaatnya tidak begitu dirasakan rakyat Papua secara umum.
“Kami punya pengalaman, Freeport. Dulu, (tambang) Freeport ini masuk (ibaratnya) hanya ditukar dengan super mie dan kornet. Itu cukup, cukup pengalaman orang tua. Saya tidak mau lihat mimpi buruk yang sama (di tambang migas),” kata Ketua Tim Penolakan Migas Agimuga, Noris Onawame.
Menurut Noris, kawasan yang diincar pemerintah untuk dieksplorasi itu bukan tanah kosong. Di sana ada masyarakat yang sudah hidup bahkan sebelum negara terbentuk.
“Kami tidak tinggal diam. Supaya mereka (pemerintah) tahu bahwa di sana ada orang, ada pemilik,” ujarnya.
Menurut dia, masyarakat Papua khususnya di Agimuga tidak hanya butuh ekonomi semata. Mereka juga butuh sumber daya manusia yang unggul di masa depan. Dengan begitu mereka juga bisa mengelola sumber daya alam yang mereka miliki.
“Kalau dulu kami bisa ditipu begitu saja, tapi sekarang tidak lagi. Kami sudah buka mata, kami sudah tahu,” katanya.