Papua  

Ini Tuntutan Utama KNPB soal Perjanjian New York yang Dianggap Ilegal

Timika, Papuadaily – Massa Komite Nasional Papua Barat (KNPB) berunjuk rasa di sejumlah wilayah Papua memprotes New York Agreement atau Perjanjian New York, Kamis (15/8/2024).

KNPB menuntut Amerika Serikat dan Indonesia membuka kembali perundingan terkait status politik Papua Barat. KNPB menilai Perjanjian New York tidak sah karena tidak melibatkan orang Papua dalam proses pengambilan keputusan.

Perjanjian New York juga dianggap KNPB sebagai manipulasi antara Belanda, Amerika, dan Indonesia untuk merebut Tanah Papua.

KNPB juga menyoroti pandangan rasis terhadap orang Papua. Orang Papua tidak pernah dianggap dalam pengambilan keputusan penting terkait masa depan mereka, seperti Otonomi Khusus, Kontrak Karya Freeport, dan pemekaran wilayah.

KNPB memandang kondisi ini merupakan suatu pemaksaan dan penindasan yang rasis terhadap orang Papua yang distigma sebagai pemberontak.

“Kami Koordinator KNPB di seluruh Papua Barat, khususnya di Sorong, Papua Barat Daya, menyerukan perlawanan terhadap segala bentuk rasisme dan penindasan terhadap rakyat Papua,” ujar Welfin Kareth, orator KNPB di Sorong, dilansir Jubi.id.

Aksi KNPB di beberapa daerah seperti Nabire dan Timika dibubarkan aparat. Di Nabire, puluhan massa KNPB diamankan dan beberapa di antara mereka terluka.

Komite Nasional Papua Barat merupakan organisasi politik rakyat Papua yang berkampanye untuk kemerdekaan Papua Barat. Organisasi ini menyerukan penentuan nasib sendiri atau Penase, dengan mendorong referendum untuk satu orang satu suara.

Perjanjian New York dilatarbelakangi oleh usaha Indonesia untuk merebut daerah Papua bagian barat dari tangan Belanda. Pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag saat pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda disebutkan bahwa masalah Papua bagian barat akan diselesaikan dalam tempo satu tahun sejak KMB. Namun sampai tahun 1961 tak terselesaikan.

Amerika Serikat yang takut bila Uni Soviet makin kuat campur tangan dalam soal Papua bagian barat, mendesak Belanda untuk mengadakan perundingan dengan Indonesia. Delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. van Roijen, E. Bunker delegasi dari Amerika Serikat menjadi perantaranya.

Delegasi Indonesia dipimpin oleh Dr. Soebandrio beserta anggota Adam Malik, Sudjarwo Tjondronegoro, Letjen Hidayat, Ganis Harsono, Brigjen Djoehartono, Soegoro Atmoprasodjo (PIB), Mayor J.A. Dimara (GRIB), M. Indey, Albert Karubuy (GRIB, PKII), Frits Kirihio (Parna), Silas Papare (PKII) dan Efraim Somisu (Parna).[3]

Tanggal 15 Agustus 1962 diperoleh Perjanjian New York yang berisi penyerahan Papua bagian barat dari Belanda melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Tanggal 1 Mei 1963 Papua bagian barat kembali ke Indonesia. Kedudukan Papua bagian barat menjadi lebih pasti setelah diadakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) tahun 1969, rakyat Papua bagian barat memilih tetap dalam lingkungan RI.