HAM – Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, merespons persidangan kasus makar atas seorang warga Negeri Piliana, Antonius Latumutuany, di Pengadilan Negeri Masohi, Maluku.
“Kami meminta jaksa penuntut umum mencabut dakwaan makar dan membatalkan tuntutan terhadap Antonius. Perbuatan Antonius hanyalah ekspresi protes yang sah atas langkah pemerintah yang dianggap warga setempat mengambil alih tanah adat Negeri Piliana,” kata Usman, Senin (23/10/2023).
Menurut Usman, proses hukum Antonius berlebihan, apalagi ia diduga telah disiksa oleh aparat kepolisian. Kasus ini menciptakan kekhawatiran serius atas komitmen negara dalam melindungi HAM. Penyiksaan adalah perkara yang jauh lebih serius daripada tuduhan makar terhadap Antonius.
“Negara justru seharusnya melindungi ekspresi politik semacam ini, ekspresi yang ditujukan terhadap tindakan negara yang dianggap merampas hak-hak mereka”.
tegas Usman Hamid
Jika jaksa penuntut umum tetap melanjutkan tuntutan, Amnesty meminta majelis hakim yang memeriksa dan mengadili agar membebaskan Antonius tanpa syarat.
“Sudah saatnya negara meninggalkan pasal makar untuk membatasi ekspresi mereka yang memiliki pendapat maupun ekspresi politik berbeda dengan Pemerintah,” kata Usman.
Amnesty juga mendesak negara untuk segera mencari solusi yang berkeadilan dengan melibatkan konsultasi bermakna dengan warga setempat atas dugaan pengambilan tanah adat oleh negara yang dipersoalkan terdakwa di kawasan petuanan Negeri Adat Piliana.
Latar belakang
Warga Desa Negeri Piliana, Maluku Tengah, Antonius Latumutuany alias Anton (26), tengah menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Masohi atas kasus makar seperti yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum dengan menggunakan pasal 106 KUHP.
Pada Senin (23/10/2023), PN Masohi menjadwalkan sesi pembuktian oleh pihak terdakwa dengan mendengarkan keterangan dari Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, sebagai saksi ahli.
Sistem Informasi Penelusuran Perkara PN Masohi mengungkapkan bahwa pada sidang perdana 14 Agustus 2023, Anton didakwa “melakukan makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian wilayah negara”.
Dakwaan itu hanya lantaran Anton memasang bendera Republik Maluku Selatan (RMS) pada sebuah kayu dahan di lahan tapal batas hutan lindung Negeri Piliana, tepatnya di Dusun Lukaihata, Desa Negeri Piliana, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku pada 28 Februari 2023.
Laporan media menyebutkan, pemasangan bendera RMS itu terdakwa lakukan usai melaksanakan ritual adat sasi bersama warga Negeri Piliana. Ini sebagai protes atas tindakan pihak Dinas Kehutanan Provinsi Maluku maupun Balai Taman Nasional Manusela yang memasang patok atau tapal batas pada wilayah petuanan Negeri Piliana.
Dengan pengibaran bendera itu, sebagai warga atau masyarakat adat Negeri Piliana, terdakwa berharap agar pemerintah, dalam hal ini pemerintah Kabupaten Maluku Tengah dapat memperhatikan suara dari masyarakat Negeri Piliana, yakni agar pihak Dinas Kehutanan tidak memasang patok atau tapal batas Kawasan hutan lindung yang masuk dalam wilayah petuanan Negeri Piliana.
Setelah mengibarkan bendera RMS, Anton memotret dan mengunggahnya ke media sosial. Pada 18 Maret 2023, polisi menangkap Anton dan langsung menahannya dengan tuduhan makar.
Usman menegaskan, kebebasan berpendapat dan berekspresi telah secara jelas dijamin dalam Pasal 19 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia di tahun 2005, serta Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCPR.
“Instrumen ini mengikat seluruh negara yang meratifikasi, tanpa terkecuali Indonesia. Ekspresi politik juga merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang keberadaannya dijamin oleh instrumen HAM internasional dan Konstitusi Indonesia,” jelasnya. (*)