Petronela Merawat “Ibu Pemberi Kehidupan” Hingga Diganjar Kalpataru

Petronela Meraudje dari tangkapan layar podcast Antara TV
Petronela Meraudje dari tangkapan layar podcast Antara TV

Deru ombak Teluk Youtefa tengah jinak, mengiringi angin membisik di sela tengkuk telinga. Satu barung-barung (pondok) nampak temaram di Dermaga Desa Enggros, Jayapura. Di situ terlihat mama Papua memperbaiki kulit kayu tas noken yang sudah lapuk termakan usia.

Petronela Meraudje, mama Papua yang duduk di pinggiran barung-barung itu, sedang menunggu kapal, ingin menyeberang ke Pulau Enggros. Ia mau lihat warga merapikan bakau (mangrove), sebab mau ada acara.

Waktu menunjukkan pukul 19.07 WIT, kapal yang ia tunggu tiba. Namun, ia hanya meminta kapal tersebut bersandar dan menunggu dulu, sebab ia tak ingin segera beranjak dari dermaga, sebelum memastikan kondisi terakhir hutan mangrove.

Begitu cintanya mama Petronela terhadap mangrove, yang telah ia rawat lebih dari 12 tahun silam. Bukan tanpa alasan Petronela tiba-tiba merawat mangrove. Ia tinggal di pesisir pantai sejak lahir dan merasakan dampak dari berkurangnya mangrove bagi lingkungan tinggalnya.

Dulu saat banyak mangrove, kawasan pantai tampak luas, namun sekarang sudah terasa sempit. Jadi, Nela, demikian ia biasa disapa, harus mulai dari awal lagi, sebab agar bisa tumbuh besar, bakau butuh usia 50 tahun.

Buah dari dedikasinya, ia diganjar penghargaan Kalpataru bidang Pembinaan Lingkungan 2023 atas pengabdiannya menjaga lingkungan dengan merawat mangrove.

Ia mulai semua capaian itu dari tengah kawasan Teluk Youtefa, yakni sebuah kampung yang menyimpan harta berharga. Bukan harta berupa emas atau permata, melainkan hutan bakau yang disebut sebagai “ibu pemberi kehidupan”, yang dalam bahasa lokal disebut “Tonotwiyat”.

Desa Enggros, tempat di mana hutan bakau dianggap sebagai hutan perempuan yang penuh makna. Bagi masyarakat Enggros–mengikuti aturan adat setempat–hutan ini tabu bagi kaum pria, dan pelanggarnya dikenai sanksi adat yang berat.

Tradisi ini, mungkin tampak aneh bagi sebagian awam, namun tampaknya masih kuat dipegang oleh masyarakat Enggros hingga saat ini. Di dalam hutan bakau ini, para perempuan memiliki kebebasan untuk melakukan beragam aktivitas, mulai dari mencari hasil laut hingga berdiskusi dan berbagi cerita.

“Ini bukan hanya sekadar mencari makanan, hutan bakau juga berfungsi sebagai tempat untuk meresapi kisah-kisah dan pemikiran,” jelas Nela. Hal ini menjadi wadah bagi kaum hawa yang dalam adat setempat sering kali tidak memiliki hak suara, bahkan sebatas berteriak atau tertawa pun dibatasi. Ada 15 aturan adat yang mengikat perempuan di kampung ini, dan hal ini dilakukan untuk menjaga kehormatan perempuan.

Namun, seiring berjalannya waktu, hutan bakau yang dulu sangat luas dan lebat mulai terkikis. Diperparah oleh dampak pembangunan yang menepikan nilai fungsi hutan bakau. Fenomena ini yang mengundang keprihatinan Petronela Merauje hingga ia berpikir dan berbuat lalu dianugerahi Kalpataru.

Dorongan kuat untuk menyelamatkan “rumah” mereka muncul pada tahun 2010. Mama Nela bergabung dalam kegiatan penanaman mangrove yang diprakarsai oleh Forum Peduli Port Numbay Green (FPPNG) yang dipimpin oleh aktivis lingkungan Fredy Wanda.

Tidak hanya itu, Mama Nela juga aktif bersama Komunitas Rumah Bakau Jayapura di kawasan Teluk Youtefa, melakukan berbagai kegiatan secara swadaya untuk menjaga hutan bakau. Ia bahkan menginisiasi penyediaan ribuan bibit bakau dengan memanfaatkan botol plastik dan ember bekas.

Dibantu oleh sejumlah perempuan lain, Mama Nela berhasil mengumpulkan 6.000 bibit bakau yang seluruhnya ditanam di kawasan Teluk Youtefa.

Tahun berikutnya, bersama Dinas Kehutanan Provinsi Papua, Mama Nela dan rekan-rekannya membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) Ibayauw, yang bertanggung jawab melakukan rehabilitasi hutan seluas 5 hektare di sekitar area hutan perempuan.

Mereka juga berupaya untuk menyiapkan puluhan ribu bibit lainnya guna mendukung kegiatan kelompok pemerhati lingkungan lainnya.

Dampak ekonomi

Tak hanya mengembalikan napas hijau, mangrove pun memiliki dampak lingkungan yang cukup besar kepada mama-mama Papua. Melalui Kelompok Tani Hutan (KTH) Ibayauw, Mama Nela mampu mengajak mama-mama lainnya beraktivitas ekonomi serta mampu memutar roda ekonomi lokal sebagai dampak dari melestarikan mangrove hingga menjaga lingkungannya.