Timika, Papuadaily – Potensi mineral emas yang mengundang aktivitas pendulangan tradisional di kampung Wakia, distrik Mimika Barat Tengah ditengarai jadi pemicu sengketa tapal batas wilayah tiga kabupaten yakni Mimika, Deiyai dan Dogiyai.
Beberapa hari lalu sekelompok warga terpantau bergerak dari Deiyai dan Dogiyai menyerang kampung Wakia. Mereka membakar sejumlah rumah termasuk rumah kepala kampung hingga alat berat. Warga setempat pun mengungsi ke wilayah pesisir pantai.
Kapolres Mimika AKBP I Komang Budiartha telah menerjunkan personel untuk mengamankan wilayah itu. Budiartha juga memerintahkan agar aktivitas pendulangan emas di Wakia dihentikan.
“Kami sudah berkoordinasi dengan Gubernur dan akan melakukan pertemuan di Mimika. Terkait adanya tambang illegal, saya sudah berkoordinasi dengan Kapolres Dogiyai dan Kapolres Deiyai kemudian saya ambil keputusan untuk menutup tambang,” jelasnya.
Bupati Mimika Johannes Rettob mengatakan pihaknya bersama jajaran forum komunikasi pimpinan daerah (Forkopimda) berkoordinasi dan mencari solusi persoalan tersebut. Pemkab juga akan mengirim tim untuk melihat situasi di Wakia.
“Kita cari solusi kira-kira apa yang perlu dilakukan. Kalau ilegal mining persoalannya maka kita harus tutup. Sebenarnya ini bukan masalah tapal batas, kemungkinan itu terkait ilegal mining yang ada di sana,” kata John, Jumat (30/8/2024).
Ancaman Perampasan Wilayah
Kepala Kampung Wakia Frederikus Warawarin khawatir wilayah Mimika itu bisa dirampas kabupaten tetangga jika tidak disikapi secara serius. Sebab warga dari Deiyai dan Dogiyai mulai merangsek membuat pemukiman di sana.
“Kampung ini bisa dirampas kalau tidak segera disikapi. Karena orang tahu ada potensi (emas) di situ. Sebenarnya inti dari masalah tapal batas ini ada di (emas) itu,” kata Frederik.
Beberapa waktu lalu Frederik sempat bersitegang dengan Ketua DPRD Dogiyai bersama rombongannya yang berkunjung ke kampung Wakia dan Kapiraya, distrik Mimika Barat Tengah. Ketegangan dalam kunjungan itu tidak lain karena masalah tapal batas wilayah.
“Waktu itu saya sampaikan bahwa ini urusan pemerintah tingkat atas. Kalau sekarang ini diurus di Wakia bisa timbul anarkis antara masyarakat dengan masyarakat karena masing-masing mempertahankan tapal batas dan klaim pemilik hak ulayat,” kata dia.
Begitu pun, menurut dia, penyerangan ke kampung Wakia juga terkait klaim tapal batas yang tidak dipungkiri karena adanya potensi emas yang saat ini sedang didulang secara tradisional di wilayah itu.
“Masalah tapal batas ini yang memicu. Ada beberapa rumah warga, termasuk rumah saya sendiri yang dibakar. Saat ini masyarakat semua mengungsi ke pesisir pantai dan tidak ada aktivitas kehidupan manusia di sana. Ada 157 kepala keluarga di Wakia,” kata Frederikus.
Konflik Setelah Penemuan Emas
Awalnya tidak ada sengketa tapal batas mengemuka di wilayah Wakia hingga Kapiraya. Namun setelah tahun 2003, warga Wakia mulai diusik setelah menemukan potensi emas dan melakukan aktivitas pendulangan tradisional.
“Kenapa sampai kita dapat emas sekitar tahun 2003, mereka mulai ganggu kita. Saat kami buka (rintis) kampung tahun 2000an itu mereka belum ganggu kita,” ungkap Sekertaris Kampung Wakia, Emanuel Inata.
Kepala Kampung Wakia Frederikus Warawarin mengakui ada sekitar 7 unit alat berat berupa excavator di kawasan pendulangan Wakia. Namun menurutnya, excavator itu milik perorangan bukan milik perusahaan tertentu yang terlibat penambangan.
“Excavator di sana ada 7 unit. Semua milik perorangan, berbeda-beda. Ada beberapa pengusaha yang memang punya pekerjaan di bidang itu (tambang). Mereka masuk ini memang ada komunikasi dengan kami pemerintah desa,” katanya.
Dia membantah informasi yang menyebut dirinya membawa alat berat ke sana untuk menambang emas secara illegal. “Saya tidak punya excavator di Wakia dan saya tidak pernah cari excavator ini. Excavator ini yang datangkan pak Jemmy dan kepala suku, bukan saya,” katanya.
Frederik mengatakan, pihaknya memang sedang mengurus legalitas berupa koperasi milik desa/kampung untuk mengelola tambang tradisional di Wakia. Menurutnya, hal itu semata-mata untuk kesejahteraan masyarakat, bukan kepentingan pribadi.
“Karena kampung Wakia ini dulu dipandang sebelah mata (tidak punya potensi). Ini kita manfaatkan sumber daya alam untuk bangun kami punya akses jalan dari kampung Kapiraya ke kampung Wakia ke kampung Umuka ke Wakia Pantai. Ini juga untuk kesejahteraan masyarakat,” ucapnya.